I.
PENDAHULUAN
Manusia mendapat kehormatan menjadi khalifah di muka
bumi untuk mengolah alam beserta isinya. Hanya dengan ilmu dan iman sajalah
tugas kekhalifahan dapat ditunaikan menjadi keberkahan dan manfaat bagi alam
dan seluruh makhluk-Nya. Tanpa iman akal akan berjalan sendirian sehingga akan
muncul kerusakan di muka bumi dan itu akan membahayakan manusia. Demikian pula,iman tanpa didasari dengan ilmu akan mudah terpedaya
dan tidak mengerti bagaimana mengolahnya menjadi keberkahan dan manfaat bagi
alam dan seisinya. Allah
Swt mengutus para Nabi dan Rasul sebagai pembawa risalah dan sebagai penerang
serta washilah untuk menunjukan manusia kepada jalan yang lurus, jalan yang
keridhoan dan jalan yang akan menyelamatkan manusia dalam setiap dimensi
kehidupan, tidak hanya duniawi yang dikejar akan tetapi keabadian akhirat
sebagai tujuan utama dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah
menurunkan Kitab-Kitab kepada para Nabi dan Rasul-Nya sebagai bukti atas
kebesaran-Nya dan juga sebagai ujian bagi manusia, apakah manusia akan berimana
pada kitab-kitab tersebut ataukan ia akan menjadi golongan pembangkang yang
mendapatkan murka Allah Swt.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
tujuan diutusnya para Rasul?
B.
Apa
fungsi wahyu dalam kehidupan?
C.
Apa
misi ajaran seluruh Rasul?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tujuan diutusnya para Rasul
1.
Al-Hajj
(22): 75
|
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ
رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
|
|
“Allah memilih
para utusan (-Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.”[1] (QS. Al Hajj:75)
a.
Tafsir Ayah
Allah
SWT memilih para utusan dari kalangan malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada
para Nabi, juga memilih para utusan dari kalangan manusia untuk menyampaikan
risalah kepada manusia seperti yang Ia kehendaki dan Ia inginkan, sesuai dengan
hikmah dan maslahat.
Pada ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa Dia telah memilih beberapa orang di
antara para malaikat, untuk menjadi perantara antara-Nya dengan para Rasul yang
diutas-Nya, untuk menyampaikan wahyu seperti malaikat Jibril. Demikian pula Dia
telah memilih beberapa orang Rasul yang akan menyampaikan agama-Nya kepada
manusia. Hak memilih para Rasul adalah Hak Allah SWT, tidak seorangpun yang
berwenang menetapkannya selain dari Dia. Dia Maha Mendengar semua yang
diucapkan oleh hamba-hamba-Nya, melihat keadaan dan mengetahui kadar kemampuan
mereka, sehingga Dia dapat menetapkan dan memilih siapa yang patut menjadi
Rasul atau Nabi di antara mereka.[2]
b. Munasabah ayah
Ayat
sebelumnya berisi penjelasan tentang posisi ketuhanan. Untuk masalah ketuhanan;
orang-orang kafir menyembah benda tanpa hujan dan ilmu atas penyembahan itu.
Mereka tidak mengagungkan Allah SWT dengan sebenarnya. Dengan kata lain mereka
tidak mengetahui hakikat kuasa, keagungan dan kemuliaan Allah SWT. Mereka tidak
mengagungkan Allah SWT dengan sebenarnya yang wajib untuk zat-Nya saat mereka
menyembah tuhan lain bersama-Nya, seperti menyembah benda-benda yang tidak
berakal dan tidak bisa menolak mara bahaya dari dirinya sendiri juga dari
orang-orang yang sangat memerlukan bantuan untuk urusan kehidupan. Hanya Allah
SWT semata yang Maha Kaya lagi Kuasa, dengan kuasa-Nya Allah SWT menciptakan
segala sesuatu.[3] Maha Perkasa yang
menguasai dan memaksa segala sesuatu, tidak terkalahkan dan terbendung karena
keperkasaan dan kemuliyaan-Nya. Maka Ia layak disembah dan diagungkan.
Selanjutnya
penjelasan Al-Qur’an beralih dari ciri-ciri ketuhanan dan yang diwajibkan
untuknya kepada masalah-masalah kenabian. Allah SWT memilih para utusan dari
kalangan malaikat untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi, juga memilih para
utusan dari kalangan manusia untuk menyampaikan risalah kepada manusia seperti
yang Ia kehendaki dan Ia inginkan, sesuai dengan hikmah dan maslahat, seperti
yang Allah sampaikan dalam ayat lain,”Apabila
datang sesuatu ayat kepadanereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman
sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan
kepada utusan-utusan Allah’. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan
tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi
Allah dan siksa yang keras di sebabkan mereka selalu membuat tipu daya.”
(Al-An’am: 74-76)
Allah
SWT mengetahui dengan sempurna kondisi para malaikat dan rasul yang diberi
beban tugas, Maha mengetahui apa yang telah berlalu dan yang akan terjadi,
tidak ada sedikitpun urusan yang samar bagi Allah SWT. Firman Allah SWT, “Dia (Allah) mengetahui apa yang dihadapan
mereka dan apa yang di belakang mereka.” (Al-Hajj: 76) mengungkapkan
ilmu-Nya yang meliputi mereka. Hakikatnya, Allah SWT mengetahui segala kejadian
sebelum dan setelah keberadaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat yang menguatkan
maknanya, seperti firman Allah SWT, “(Dia
adalah Tuhan) yang mengetahui yang
gaib, maka tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu.
Kecuali kepada Rasul yang diridlai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui
bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya,
sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia
menghitung segala sesuatu satu persatu.”
Ayat
ini diakhiri dengan firman, “Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.
(Al-Hajj: 76) Artinya, segala urusan berpulang pada-Nya pada hari Kiamat, tidak
ada kuasa dan batas akhir untuk siapapun selain Dia.[4]
Ayat
ini turun saat Walid bin Mughirah berkata: “Kenapa Al Qur’an diturunkan padanya
(Muhammad) dan bukanya pada kami?”
Ayat
ditutup dengan penegasan sifat-sifat Allah AzzawaJalla. Pendengaran-Nya
sempurna untuk untuk semua perkataan manusi, penglihatan-Nya sempurna untuk
semua hal dan ihwal mereka, ilmu-Nya sempurna terhadap siapa yang berhak
dipilih untuk menyampaikan risalah. Firman Allah SWT, “Dan dari manusia,” (Al
Hajj: 75) adalah para nabi yang diutus untuk memperbaiki manusia, orang-orang
yang menyatukan antara kenabian dan risalah.[5]
2.
Q.S. An-Nahl (16): 36
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ
اعْبُدُواْ اللَّهَ وَاجْتَنِبُواْ الْطَّـغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ
وَمِنْهُمْ مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَـلَةُ فَسِيرُواْ فِى الاٌّرْضِ
فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَـقِبَةُ الْمُكَذِّبِين
“ Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan),
‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut itu’. Maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, dan diantara mereka ada pula
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para
rasul).”
At-Thogut : setiap sesembahan selain Allah, termasuk setan, tukang tenung,
berhala dan setiap orang yang menyeru kepada kesesatan.
a. Penafsiran Ayah
Ayah ini menyatakan Allah telah mengutus Nabi Muhammad.
Dan diantara umatnya ada yang menerima dengan baik ajarannya dan
adapula yang membangkang dengan berbagai upaya penolakan keras. Hal ini
sesungguhnya juga dialami oleh rasul-rasul sebelum Muhammad. Dimana mereka
menyampaikan agar umatnya tunduk dan patuh dengan penuh pengagungan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Perintah untuk menjahui taghut, yakni segala macam yang
melampaui batas seperti penyembahan berhala dan kepatuhan kepada tirani.[6] Ajakan
para rasul telah diketahui oleh umat masing-masing maka diantara mereka ada
yang hatinya terbuka sehingga Allah menyambutnya dan diberikan petunjuk,
adapula yang keras hatinya sehingga mereka menolak ajaran (risalah) rasul. Dan
nantinya pasti akan mendapatkan sanksi atas kesesatan yang mereka pilih sendiri
pada hari pembalasan. Kemudian jika umat manusia masih meragukan apa yang
disampaikan rasul, tentang kebinasaan para pembangkang dan pendusta para rasul
maka perhatikanlah bagaimana akhir kehidupan mereka yang mendapatkan laknat
yang pedih dari Allah SWT.[7]
b. Munasabah Ayat
Allah telah mengutus Nabi Muhammad untuk menyempurnakan syariat-syariat
nabi-nabi dan rasul-rasul terdahulu. Dalam menyampaikan risalahnya Nabi
Muhammad menemui banyak rintangan dan hambatan dari berbagai Suku dan Penguasa
Quraisy pada waktu itu. Hal ini sama dengan apa yang di alami oleh nabi-nabi
dan rasul-rasul sebelumnya.[8]
c. Asbabun Nuzul Ayah
Dalam Surah An-Nahl ayat 36, ayah ini menghibur Nabi Muhammad Saw, dalam
menghadapi para pembangkang dari kaum beliau, seakan-akan ayat ini menyatakan:
Allah pun telah mengutusmu, maka ada diantara umatmu yang menerima ajakanmu dan
ada juga yang membangkang.
Allah mengabarkan kepada kita untuk meneliti sejarah umat terdahulu, baik
umat yang memperoleh atau mendapat petunjuk dari Allah SWT. ataupun umat yang
membangkang karena didalamnya terdapat pelajaran yang berharga bagi manusia dan
menjadi bekal agar manusia tidak terjerumus kedalam lubang yang sama untuk
kesekian kalinya.
B.
Fungsi
Wahyu dalam Kehidupan
1.
Al-Anbiya :25
$tBur $uZù=yör& `ÏB Î=ö6s% `ÏB @Aqß§ wÎ) ûÓÇrqçR Ïmøs9Î) ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) HwÎ) O$tRr& Èbrßç7ôã$$sù
“dan Kami
tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku."
Ayat ini menjelaskan bahwa ajaran yang dibawa
oleh nabi Muhammad kepada ummat adalah sebagai peringatan kepada ummatnya,
bahwa yang disampaikan oleh para utusan Allah adalah satu. Tidak ada utusan
yang mempersekutukan Allah dan tidak ada seorangpun yang sanggup mengemukakan
suatu alasan atau suatu bukti adanya Nabi yang menyampaikan wahyu yang isinya
menyuruh mempersekutukan Allah. Ayat ini memperjelas bahwa tidak ada seorang
Rasul Allah yang membawa wahyu Ilahi selain dari satu ajaran. Isi atau inti
pokok agama yang pertama adalah mengakui tiada Tuhan kecuali Allah ( Tauhid Uluhiyah). Dan yang kedua adalah
mengakui bahwa Tuhan itu satu yaitu Allah (Tauhid Rububiyah). Sebagaimana
tertulis pada ayat diatas, hanya Allah lah yang patut disembah dan dipuja.
Munasabah
ayat dengan ayat sebelumnya :
Keterkaitan
antara surah al anbiya ayat 25 dan ayat sebelumnya penguatan bahwa ajaran yang
Nabi Muhammad bawa tidaklah berubah-ubah sejak dahulu sampai sekarang “ini
adalah peringatan bagi siapa yang sertaku dan peringatan bagi orang-orang yang
sebelumku.” . yakni ajaran Tauhid adalah ajaran untuk tiap zaman, yakni menolak
segala perbuatan manusia yang mengambil/ menganggap Tuhan selain Allah. Dan
untuk membedakan mana yang benar, hendaklah menggunakan akal pikiran.jangan
hanya ikut-ikut saja. Orang yang beragama dengan tidak mempergunakan akalnya
itulah yang selalu terombang-ambing dalam soal kepercayaan.”maka merekapun
berpaling” (ayat 24) [9]
C.
Misi
Ajaran Seluruh Rasul
1.
Al-Baqarah(2):199.
!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #Zϱo0 #\ÉtRur ( wur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran;
sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan
diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(
Q.S. Al Baqarah : 119)
a.
Penafsiran
Ayah
Pada awal ayat
ini Allah SWT menegaskan dengan menyatakan: (Sesungguhnya Kami telah mengutusmu
(Muhammad) dengan kebenaran). Pada ayat ini Allah SWT menyebut diri-Nya dengan
kata, "Inna" (Kami). Ayat yang senada banyak sekali ketika Allah SWT
menyebut diri-Nya dengan kata, "Kami", selain itu pula terkadang
Allah menyebut diri-Nya dengan kata, "Inni"(Aku). Perlu digarisbawahi
bahwa ketika Allah menyebutkan Dzat-Nya dengan kata, "Kami", pertama,
biasanya menunjukkan pada perbuatan Allah yang terjadi "tidak hanya"
mewakili salah satu sifat Allah, tetapi mewakili seluruh sifat-sifat Allah.
Kedua, digunakan kata, "Kami" biasanya ketika perbuatan Allah itu
melibatkan makhluk-Nya walaupun si makhluk tersebut mampu berbuat karena
kemampuan yang diberikan Allah, hal ini merupakan penghargaan Allah terhadap
makhluk. Ketika dalam penciptaan langit dan bumi, Allah menyatakan dirinya
dengan kata, "Aku", karena makhluk tidak ikut berperan. Tetapi ketika
Allah berbicara perihal kesembuhan atau rezeki, maka Allah menyebutkan dirinya
dengan kata, "Kami", karena ketika seseorang sembuh dari sakit ada
keterlibatan makhluk (Dokter) atau sampainya rezeki di tangan seseorang juga
melibatkan makhluk yang hakikatnya baik kesembuhan maupun rezeki semua datang
dari Allah.
a.
Asbabun Nuzul :
Berkata
Abdurrazaq, diceritakan oleh As-Tsauri kepada kami dari Musa bin Ubaidah, dan
Muhammad bin Kaab Al-Qurathi, katanya bahwa Rasulullah saw. bersabda,
"Wahai bagaimanakah kiranya nasib kedua orang tuaku?" Maka turunlah
ayat, "Sesungguhnya Kami telah mengutusmu dengan kebenaran, pembawa berita
gembira dan pembawa peringatan. Kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban
tentang penghuni-penghuni neraka." (Q.S. Al-Baqarah 119). Maka sampai
wafatnya tidak pernah lagi Nabi menyebut-nyebut kedua orang tuanya itu. Riwayat
ini mursal. Diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari jalur Ibnu Juraij, katanya,
disampaikan kepadaku oleh Daud bin Abu Ashim bahwa pada suatu hari Nabi saw.
bersabda, "Di manakah ibu-bapakku?" Maka turunlah ayat tersebut.
Riwayat ini juga mursal.
2.
Al-Baqarah(2):213.
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ ۚ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ
أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۖ فَهَدَى
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ ۗ
وَاللَّهُ يَهْدِي
مَنْ يَشَاءُ
إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“ Manusia itu
adalah umat yang satu (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para
nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan diantara
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang
Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki
antara mereka sendiri. Maka Allah member petunjuk orang-orang yang beriman
kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya.
Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan
yang lurus.”
a.
Penafsiran Ayah
Allah menjadikan manusia sebagai umat yang satu dan menganut kebenaran yang
sama sejak nabi Adam hingga nabi Nuh tetapi karena berbagai hal, mereka
kemudian berselisih diantara sesama. Oleh karena itu Allah mengutus para rasul
untuk orang-orang yang mendustakan kebenaran risalah para rasul.
Meskipun allah menjadikan manusia sebagai umat yang satu yang terikat yang
saling membutuhkan satu sama lain dalam mencari penghidupan. Namun tidak
mungkin dalam persatuan ini mereka selalu sepakat dalm semua hal. Allah
menjadikan akal manusia tidak sama dan berbeda-beda fitrohnya sehingga terkadang
terjadi perbedaan pendapat dalam memahami risalah ini.
Allah mengutus kepada para nabi untuk memberikan peringatan kepada kaumnya
masing-masing, tentang apa yang mereka abaikan. Dengan menyandarkan hukum-hukum
Allah kepada kitab-kitab-Nya sebagai sumber utama. Serta menguatkan kenabian
dengan dalil-dalil yang tegas. Apa yang mereka sampaikan semata-mata adalah
dari Allah Yang Maha Kuasa memberi pahala dan mendatangkan siksa. Serta Maha
Mengetahui terhadap segala sesuatu.[10]
a. Munasabah Ayah
Ayah ini mewajibkan kita beriman kepada kitab-kitab yang tidak disebutkan
namanya. Dan kita tidak boleh menisbatkan nama-nama kitab kepada Allah kecuali
kitab-kitab yang Allah nisbatkan kepada-Nya sendiri didalam al-Qur’an.
Kewajiban kita beriman bahwa kitab-kitab yang diturunkan itu membawa kebenaran,
mengesakan Allah pada Rububiyyah-Nya, Uluhiyyah-Nya, nama-nama-Nya, dan
sifat-sifat-Nya, sedangkan nama kitab Allah disebutkan dalam firman-Nya surat
Al-Maidah: 46
IV.
KESIMPULAN
[1]WahabahAz-Zuhaili, Tafsir Al
Wasith Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2013) hlm,657
[2]M. QuraishShihab, Tafsir
Al-Mishbah, Volume ke-9, Cet. Ke-IV, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), hlm. 128
[3]WahabahAz-Zuhaili, Tafsir Al
Wasith, (Jakarta: Gema Insani, 2013) hlm,657
[4]WahabahAz-Zuhaili, Tafsir Al
Wasith Jilid 2, Jakarta: Gema Insani, 2013 hlm,658
[5]WahabahAz-Zuhaili, Tafsir Al
Wasith Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani, 2013) hlm,658
[6] Ahmad
Mustofa Al-Muraghi, Terjemah Tafsir Al-Muraghi, Terj, Jilid
1 (Semarang: PT. Toha Putra. 1992) Hlm. 89.
[7]
M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an(Jakarta:
Lentera Hati, 2009), Hlm. 576.
[8]
Abidin
Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009) Hlm. 9.
[9] Prof.
Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Singapura:Pustaka Nasional Pte Ltd ,1999.
Hlm: 4558
[10]
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrohman Alu
Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibnu Katsir atau Tafsir
Ibnu Katsir, terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2008), Hlm., 381.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar